Media sosial, seperti FB dan Youtub banyak pula melahirkan Mubalig-mubalighah baru yang viral dan memiliki pengaruh besar kepada ummat dari berbagai kalangan (influencer). Pengaruh mereka sangat mewarnai pola tingkah ummat dalam mengaktualisasikan nilai-nilai keIslaman tersebut.
Kesolehat ummat dalam beragama terutama disisi ubudiyah (menjalankan ibadah kepada Allah) merupakan dampak positif yang semakin dirasakan. Ketaatan dalam ibadah itu mudah terlihat dari semakin makmurnya Masjid-masjid dan Mushalla dengan kegiatan ritual ibadah.
Simbol agamapun selalu hadir dalam berbagai sekmen kehidupan sebagai bagian dari konsekuensi atas kondisi tersebut. Bahkan kini interaksi simbolik itu telah pula melahirkan kelas sosial tertentu serta juga berkontribusi pada kekuatan politik tertentu.
Pada kondisi inilah terjadi proses anomali yang menyoal banyak kemapanan serta mencurigai begitu banyak kebijakan dengan standar nilai ideal yang uthopia. Mereka seolah-olah merasa risih dengan apa yang sedang mereka nikmati, baik berupa pendapatan, keamanan dan ketentraman, jaminan hukum dsb. Dan menganggap ada yang lebih baik dari itu, sehingga lupa untuk mensyukurinya, persis sama dengan kisah Alquran Al-Baqarah ayat 57 dan 61, dimana ketika Bani Israil mengelehuh dengan Manna dan Salwa, yang merupakan hidangan terbaik yang disediakan langsung oleh Allah SWT.
Kesadaran beragama harus seimbang diantara nilai tawhid dan ubudiah. Dengan demikia ketawhidan akan menuntun pada makna dan hakikat sehingga seseorang mampu memahami hakikat hidup dan ketaatan. Sementara nilai ubudiah pula menjadi konsekuensi atas nilai ketawhidan tersebut sehingga ibadah akan berimplementasi pada akhlak serta prilaku yang selalu mengedepankan kesyukuran.
Penulis : H. M. Rizal Akbar