Adalah perbincangan lama terkait bagaimana agama memandang pengetahuan dan pengetahuan memandang agama. Namun dalam essay kali ini perbincangan itu lebih mengarah kepada hadirnya Tuhan dalam paradigma agama sebagai pemilik kebenaran.
Pada essay sebelumnya yang berjudul paradigma pengetahuan telah dinyatakan bahwa sesungguhnya pengetahuan menemukan realitas, sehingga realitas itulah yang dinyatakan sebagai kebenaran, sementata kebenaran agama adalah kebenaran yang diturunkan oleh sang pemilik kebenaran itu yaitu Tuhan. Dengan itu kebenaran pengetahuan bersifat relatif dan kebenaran agama bersifat absolut.
Tuhan sebagai pemilik kebenaran absolut itu apakah dapat dijumpai oleh pengetahuan manusia? menjadi pertanyaan menarik dan mendasar dalam memahami pandangan pengetahuan terhadap agama sebagaiman perbincangan diatas.
Tiga pengetahuan sebagaimana yang pernah dipaparkan pada essay sebelumnya telah diperkenalkan yakni pengetahuan sains, filsafat dan mistik. Ketiganya memiliki ruang lingkup ontologi, epistimologi dan aksiologi yang berbeda. Untuk itu mari kita lihat satu-persatu pengetahuan itu dalam memahami Tuhan.
Sains sebagai pengetahuan manusia yang bersifat rasional dan empiris, sangat tidak mungkin menemukan ujud tuhan dalam epistimologinya, sebab objek kajian sains adalah empiris, sehingga keterbatasan panca indra manusia tidak akan dapat menangkap keberadaan sang pencipta. Dengan demikian berdiri diatas pengetahuan sains saja tidak mungkin menemukan jawaban tentang eksistensi Tuhan sebagai pemilik tunggal atas kebenaran itu.
Sementara itu filsafat yang merupakan pengetahuan manusia yang mengedepankan akal dan logika, yang tidak dibatasi oleh kenyataan empiris akan mungkin dapat menjumpai hadirnya tuhan dalam ruang metafiziknya. Namun Tuhan yang dijumpai dalam alam pemikiran itu adalah Tuhan yang dijelmakan dari bias alam semesta. Yakni ketika akal menemukan bahwa pastilah ada yang menciptakan alam mesta. Dan disaat akal menemukan adanya pemilik keteraturan disaat menyaksikan keteraturan alam semesta, serta argumentasi akal lainnya yang menghantarkan kepada kepercayaan adanya Tuhan yang menciptakan dan mengatur jagat raya. Meskipun akhirnya pengetahuan filsafat mempercayai adanya Tuhan, namu filsafat tidak mampu merincikan eksistensi tuhan itu secara detil, hanya memungkinkan degan menegasikan segala aspek ciptaan Nya. Pola mengenal Tuhan perspektif ini agak berbahaya, karena Tuhan yang dihadirkan oleh filsafat itu adalah Tuhan yang harus tunduk pada pemikiran pemikiran filsafat itu sendiri. Sehingga kewujudan Tuhan dalam makna yang sesungguhnya sebagaimana paradigma agama tidak dapat dicapai.
Pengetahuan mistik pula dengan objek keghaiban selalunya telah dipengaruhi oleh pahaman agama dan kepercayaan tertentu. Pengetahuan yang mengkonstruksikan adanya kekuatan diluar rasionalitas empiris itu menghadirka ruang lain yang tidak mampu digapai oleh panca indra manusia namun kesannya turut mempengaruhi citarasa Manusia.
Meskipun masuk dalam alam keghaiban, pengetahuan mistik juga akan mengalami ambiguisitas tatkala dihadapkan dengan konsep Tuhan. Mistik sebagai pengetahuan tertua manusia yang awalnya dikonstruksikan melalui mitos ini menemukan begitu banyak kekuatan dialam keghaiban tersebut. Sehingga jika tidak dipandu oleh agama, mistika nyaris sulit mendepenisikan Tuhan dalam konsep yang utuh.
Ketiga pengetahuan manusia diatas ternyata tidak mampu menemukan sang pemilik kebenaran mutlak itu. Sehingga agama hadir sebagai pengetahuan yang menjelaska segala persoalan yang tidak mampu dijelaskan oleh pengetahuan manusia. Allah SWT memperkenalkan dirinya melalui Firman-firmanya didalam Al-Quran yang kemudian diperkuat dengan penjelasan yang disampaikan oleh baginda Rasulullah melalui Sunahnya, dengan demikian Islam sebagai sebuah agama selain membawa seperangkat tata nilai, juga membawa pengetahuan yang komperhensif bagi ummat manusia.
Gagasan diatas sejalan dengan pandangan Prof Dr. Mashudul Alam Choudiry yang mengemukakan teori Tawhidi String Relation (TSR). Konsep ini mendefinisikan bahwa pengetahuan Tawhid itu berawal dari Alquran dan Sunah yang disimbolkannya dengan Ω (Q,S) menggeluarkan satu pengetahuan (θ), selanjutnya pengetahuan mengalami proses interaksi, integrasi dan evolusi (IIE) sehinga melahirkan fungsi pengetahuan yang telah bertemu dengan variabel alam semesta X﴾θ), dan selanjutnya terus berkembang denga proses kembali menghubungkan fungsi tersebut dengan pengetahuan asalnya sehingga akhirnya pengetahuan itu berakhir kepada fungsi keselamatan atau wellbeing fungtion W﴾ θ ¸X﴾ θ)). Proses itu terus berputar menjadi pengetahuan baru dan terus berkembang selaras dengan perkembangan pengetahuan manusia.
Teori TSR nya Mashudul, secara sederhana menekankan bahwa alquran dan sunah adalah sumber pengetahuan atau pengetahuan agama, ketika pengetahuan itu diimplementasikan dalam kehidupan maka disinilah pengetahuan manusia menjadi penting untuk diinteraksikan, diintegrasikan dan dievolusikan. Sehingga pengetahuan itu menjadi sarana untuk memartabatkan manusia. Artinya Allah SWT lah pemilik pengetahuan dan kebenaran, pengetahuan manusia hanya mampu memberilan dukungan guna terimplementasikannya kehendak Allah (maqasyid syariah) dalam memartabatkan dan mensejaahtrakan kehidupan manusia.
Wallahu'alam bissawa
Ditulia Oleh : Dr. H. M. Rizal Akbar, M. Phil
Dosen Filsafat Ilmu IAITF Dumai
Alhamdulillah, Bersyukur atas nikmat iman dan Islam yang di berikan kepada kita umat Muslim.. sehingga kita di tuntun dengan semua ilmu pengetahuan. Terima kasih penjabaran nya pak 🙏
BalasHapus