IAEI dan Qou Vadis Ekonomi Syariah Kita

SahabatRiau
0

Foto bersama Prof Dr. Euis di Menara syariah

Ditulis Oleh : Dr. H. M. Rizal Akbar, M. Phil

Tulisan ini mencoba mendiskusikan kembali tetang arah pengembangan ekonomi syariah di Indonesia Dari semangat yang muncul diera 90an itu. Kewujudan ekonomi syariah bukan tanpa debat panjang dari ilmuan disaat itu, terkait berbagi hal, mulai dari riba atau tidaknya  bunga bank konfensional, apakah ekonomi syariah itu aktualisasi muamalah dalam ekonomi atau memuamalahkan praktek ekonomi, apakah ekonomi syariah itu ekonomi yang sosialis atau kapitalis, hingga menarik disimak, diawal tahun 2000an dalam sebuah dialog bersama mahasiswa Gus Dur ketika ditanya seorang Mahasiswa terkait Ekonomi Syariah, dengan gamlang beliau menjawab bahwa "ekonomi syariah itu adalah kapitalisme yang diperbaiki".

Penulis merasa jawaban Gus Dur pada dialog itu sangat menarik untuk dikaji ketika itu, dan menyebakan keinginan memahami ekonomi syariah menjadi kuat. Awalnya penulis dan rekan-rekan yang kala itu masih mengikuti program  pasca sarjana S2 di UKM Malaysia mendiskusikan pemikiran Gus Dur diatas dengan coba membandingkan  ekonomi syariah dan konvensional itu menggunakan pendekatan filsafat ontologi, epistimologi dan aksiologi. Diskusi yang alot menyimpulkan nyaris tidak terdapat perbedaaan penting Dari keduanya kecuali dari  sisi norma dan nilai syariah yang hadir dalam proses ekonomi syariah tersebut. Dalam konteks ini sepertinya pernyataan Gus Dur ada benarnya juga.

Tidak sampai disitu, banyak buku ekonomi syariah atau ekonomi Islam yang akhirnya dibaca dari satu tokoh ketokoh lainnya. Ada Abd Manan, Umar Capra, Bakhir As Assadhar dan beberapa tokoh ekonomi syariah lain serta bebera tokoh peneraju ekonomi syariah Indonesia dan Malaysia. Persoalannya tetap sama, ekonomi syariah menjadi berbeda diantara tokoh-tokoh tersebut tergantung ideologi dan dasar pemahaman masing-masing tokoh itu. Ilmuwan ekonomi syariah yang hidup dalam paradigma sosialis akan memaparkan seolah-olah ekonomi syariah itu dekat dengan sosialis yang proletar melalui konsep kemilikan dalam Islam yang bersifat pinjaman dari Allah dan harus berfungsi sosial. Sementara yang kapitalia pula mendefenisikan bahwa ekonomi syariah itu dekat dengan kapitalis dengan menampilkan mekanisme pasar yang sangat diakomodir dalam siatem ekonomi syariah.

Namun lain pula halnya dengan ilmuwan yang berasal dari basis muamalah, memahami ekonomi syariah dari perspektif kepatuhan syariah yang kental, semua prilaku ekonomi yang ada coba dihukumi dengan pendekatan muamalah yang sesungguhnya masih perspektif itu. Lain pula halnya dengan tokoh ilmuwan yang datang dari ekonomi positif, dia akan menampilkan sebagaimana yang dinyatakan Gus Dur, sedang memperbaiki praktek ekonomi yang ada dengan meletakan nilai-nilai syariah dalam praktis berekonomi yang ada. Dari situ, maka hadirlah Bank Syariah, Asuransi Syariah, Lising Syariah, dan lainnya. Bagi kelompok yang lain pula jangankan perbankan syariah, kata "ekonomi" Pun dipersoalkan karena dianggap bukan dari sistem yang syariah sehingga muncullah istilah "Iqtishad" Atau Iqtishaduna. 

Pengembaraan penulis dalam pengetahuan ini mengantarkan pada perkenalan dengan Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) untuk pertama kalinya  pada Juli 2011 Dalam sebuah even IAEI yang diselenggarakan di UIN Suska Pekanbaru. Wacana pengembangan ekonomi dan bisnis syariah semakin berkembang kala itu ketika berkumpul dan mendengarkan wacana pengetahuan ekonomi syariah dari pelbagai ilmuan dan praktisi ditanah air.

Sejak dideklasikannya IAEI pada 3 Maret 2004, organisasi ini memberi harapan yang besar akan perkembangan Ekonomi Syariah di Indonesia. Kemunculan program studi Dalam rumpun ekonomi syariah pada perguruan tinggi umum Dan perguruan tinggi keagaman Islam dibawah kementeri agama di Indonesia yang semakin menjamur ditambah pula  dengan lahirnya begitu banyak industri syariah baik pada sektor jasa keuangan, bank dan non bank hingga hotel dan Wisata halal serta sektor lainnya, sangat beralasan untuk menjadikan IAEI sebagai sokoguru dalam mengawal  perkembangan tersebut.

Namun disaat perkembangan tersebut terjadi, yang menyentak pemikiran kita adalah apakah pesatnya perkembangan industri syariah itu telah berkontribusi pada penyelesaian persoalan ekonomi ummat yang miskin dan terbelakang. Agaknya agenda ini yang selalu tertinggal dalam tiapkali even nasional sebagai wacana dan kebijakan yang dikembangkan oleh IAEI. Sebagian besar ummat Islam Indonesia tidak terangkut dalam transformasi syariah yang sedang marak itu. Meskipun ada upaya untuk meningkatkan inklusi keuangan, namun persoalannya menjadi sukar bilamana ummat masih berada dalam ranah ekonomi subsisten yang baru sebatas pemenuhan kebutuhan dasar belum butuh dengan transaksi modren yang ada diceruk-ceruk kota dan pelosok Desa, dengan kemiskinan menjadi temanya. Pada kondisi inilah agaknya IAEI terlambat dalam mengkat tema-tema terkait ekonomi pembangunan Islam, dengan objek kemiskinan dan keterbelakangan ummat melaui berbagai pendekatan terutama philanthropy Islam serta pendekatan lainnya.

Qou Vadis ekonomi syariah sebagaimana diatas, ditambah lagi objektif IAEI yang lebih mengedepankan wacana transaksional ekonomi, yang sibuk dengan menghukumi proses transaki dengan akad tertentu,  namun disatu sisi sibuk pula dengan upaya memperjuangkan profitabilitas industri syariah tersebut guna mempertahankan likuiditas nya. Kenyataan itu seolah-olah  kita hanya sedangan memperbaiki proses ekonomi (yang kapitali itu) yang sedang dijalankan dengan nilai-nilai syariah, hal ini tentu sejalan dengan apa yang dinyatakan  Gus Dur ditas. Dengan angka kemiskinan ummat tidak bergerak, asset  yang semakin berkurang sehingga pada kenyataaannya semakin tidak berdaya dalam menghadapi kenyataan masa depan, ummat semakin terbelakang dan tidak berdaya.

IAEI diaharpan kembali melakukan outokritik jika tidak ingin kehadirannya dianggap sebagai pelengkap penderita. Pertanyaanya ketika kita sibuk dengan wacana Industri syariah, berapa banyak kita ada disana. Meskipun kita punya dalil untuk itu bahwa Islam adalah  rahmatan lil'alamin, namun menyelamatkan ummat dari keterpurukan ekonomi merupakan  addharuriyah khamsyah pada Maqayid syariah, yakni hifdul mal. Jika tidak banyak pengaruh dari apa yang disibukan itu kepada maslahah ammah, maka sebaiknya IAEI kedepan fokus saja Kepada ekonomi ummat, dengan mengedepankan pada wacana dan kebijakan yang mendorong Kepada upaya mengeluarkan ummat dari jurang kemiskinan dan keterbelakangan, baik dengan mengoptimalisasikan philanthropy Islam (zakat, infak wakaf Dan sedekah serta kedermawanan lainnya) yang digester menjadi keuangan social maupun kebijak-kebijakan dalam penyelamatan dan optimalisasi asset ummat.      

Penulis Adalah Dosen IAITF Dumai

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)