![]() |
Oleh: Dr. H. M.Rizal Akbar, M.Phil |
Bulan Ramadhan adalah bulan yang dinanti-nantikan oleh umat Islam di seluruh dunia. Kehadirannya membawa kebahagiaan dan kegembiraan bagi mereka yang beriman. Kebahagiaan ini bukan sekadar emosional, tetapi juga spiritual, karena Ramadhan adalah bulan penuh berkah, rahmat, dan ampunan dari Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu" (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menunjukkan betapa besar keutamaan Ramadhan sehingga kehadirannya disambut dengan kebahagiaan yang mendalam oleh umat Islam.
Para ulama dan ilmuwan Islam sepakat bahwa Ramadhan membawa kebahagiaan dalam berbagai aspek kehidupan. Al-Ghazali (1058–1111) dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa puasa tidak hanya menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga merupakan latihan spiritual untuk membersihkan hati dari penyakit-penyakit batin, sehingga menimbulkan kebahagiaan sejati. Dengan menahan hawa nafsu dan lebih mendekatkan diri kepada Allah, seorang Muslim merasakan ketenangan dan kebahagiaan yang hakiki.
Selain itu, kebahagiaan menyambut Ramadhan juga terkait dengan peningkatan kualitas ibadah. Umat Islam lebih giat melaksanakan shalat, membaca Al-Qur’an, serta memperbanyak amal shalih. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Al-Qur'an ini memberi petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar" (QS. Al-Isra: 9). Ayat ini menunjukkan bahwa kebahagiaan yang dirasakan umat Islam saat Ramadhan juga datang dari kedekatan mereka dengan Al-Qur’an.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah (1292–1350) dalam Madarij As-Salikin menjelaskan bahwa hati manusia memiliki kebutuhan spiritual yang hanya bisa dipenuhi dengan mendekatkan diri kepada Allah. Ramadhan menjadi momentum terbaik untuk memenuhi kebutuhan tersebut, sehingga menimbulkan rasa bahagia yang mendalam. Kebahagiaan ini lebih besar daripada sekadar kesenangan duniawi karena berasal dari hubungan yang kuat dengan Sang Pencipta.
Kebahagiaan menyambut Ramadhan juga diperoleh dari kebersamaan dan silaturahmi yang lebih erat di antara umat Islam. Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi" (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam bulan Ramadhan, keluarga dan masyarakat saling berbagi makanan, membantu sesama, serta mempererat ukhuwah Islamiyah, sehingga kebahagiaan semakin terasa.
Dalam perspektif psikologi, kebahagiaan menyambut Ramadhan juga dapat dijelaskan melalui teori kebahagiaan eudaimonic, yang dikembangkan oleh Aristoteles dan dikaji lebih lanjut oleh Ryan & Deci (2001). Teori ini menyatakan bahwa kebahagiaan sejati diperoleh melalui makna hidup dan aktualisasi diri. Ramadhan memberikan kesempatan bagi umat Islam untuk merefleksi diri, meningkatkan kualitas spiritual, dan memperbaiki hubungan sosial, yang semuanya berkontribusi pada kebahagiaan yang lebih mendalam.
Selain aspek spiritual dan sosial, kebahagiaan menyambut Ramadhan juga berhubungan dengan manfaat kesehatan. Studi ilmiah yang dilakukan oleh Trepanowski dan Bloomer (2010) menunjukkan bahwa puasa intermiten, seperti yang dilakukan selama Ramadhan, memiliki manfaat bagi kesehatan tubuh, termasuk meningkatkan metabolisme dan mengurangi risiko penyakit kronis. Mengetahui manfaat ini, umat Islam menyambut Ramadhan dengan sukacita karena puasa tidak hanya menjadi ibadah, tetapi juga sarana menjaga kesehatan.
Kebahagiaan menyambut Ramadhan juga didasarkan pada janji-janji Allah kepada hamba-Nya yang berpuasa. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya di surga terdapat sebuah pintu yang disebut Ar-Rayyan, yang hanya dimasuki oleh orang-orang yang berpuasa. Ketika mereka telah masuk, maka tidak ada seorang pun yang masuk setelah mereka" (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini memberikan motivasi dan kebahagiaan tersendiri bagi umat Islam karena mereka menyadari bahwa pahala yang Allah janjikan bagi orang yang berpuasa sangatlah besar.
Lebih lanjut, Ramadhan juga membawa kebahagiaan dalam bentuk keberkahan rezeki. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda, "Ramadhan adalah bulan keberkahan. Allah melimpahkan rahmat-Nya, menghapus dosa-dosa, mengabulkan doa, melihat perlombaan kebaikan kalian, dan membanggakan kalian di hadapan malaikat" (HR. Thabrani). Hadis ini menunjukkan bahwa Ramadhan adalah bulan penuh berkah di mana pintu rezeki dan doa terbuka lebih luas, sehingga umat Islam menyambutnya dengan suka cita.
Kebahagiaan menyambut Ramadhan juga diperoleh dari pahala yang berlipat ganda. Dalam sebuah hadis qudsi, Allah SWT berfirman, "Setiap amalan anak Adam adalah untuknya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya" (HR. Bukhari dan Muslim). Pernyataan ini menegaskan bahwa pahala puasa sangat istimewa, sehingga umat Islam merasa bahagia dapat mengamalkannya.
Kebahagiaan menyambut Ramadhan juga berakar pada harapan untuk mendapatkan malam Lailatul Qadar. Allah SWT berfirman, "Lailatul Qadar itu lebih baik daripada seribu bulan" (QS. Al-Qadr: 3). Harapan untuk meraih keberkahan dan pahala yang luar biasa dalam satu malam menjadikan Ramadhan sebagai bulan yang penuh dengan antusiasme dan kebahagiaan.
Dalam kajian tasawuf, kebahagiaan menyambut Ramadhan juga dikaitkan dengan penyucian diri. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani (1077–1166) dalam Al-Ghunyah menjelaskan bahwa puasa bukan hanya menahan diri dari makanan, tetapi juga dari segala hal yang mengotori hati dan jiwa. Dengan demikian, Ramadhan menjadi bulan untuk kembali kepada fitrah, yang membawa kebahagiaan hakiki bagi seorang Muslim.
Lebih dari itu, kebahagiaan menyambut Ramadhan juga berasal dari kepatuhan kepada Allah SWT. Dalam QS. Al-Baqarah: 183, Allah berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." Perintah puasa ini diterima dengan penuh kegembiraan oleh umat Islam karena merupakan salah satu cara untuk meraih derajat takwa yang lebih tinggi.
Seorang Muslim yang memahami nilai-nilai Ramadhan akan merasakan kebahagiaan yang tidak dapat diukur dengan materi. Hal ini sejalan dengan teori kebahagiaan dalam Islam yang dikembangkan oleh Al-Farabi (872–950), yang menyatakan bahwa kebahagiaan sejati adalah kebahagiaan yang berasal dari kesempurnaan akal dan jiwa dalam mengenali dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Kebahagiaan menyambut Ramadhan juga dapat dilihat dari meningkatnya kegiatan sosial dan kepedulian terhadap sesama. Banyak umat Islam yang berlomba-lomba dalam sedekah, membantu fakir miskin, dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan keagamaan. Hal ini selaras dengan QS. Al-Baqarah: 267 yang menyatakan, "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik." Secara keseluruhan, kebahagiaan menyambut Ramadhan adalah kebahagiaan yang bersumber dari keberkahan spiritual, sosial, dan fisik. Kebahagiaan ini bukan sekadar kebahagiaan sesaat, tetapi membawa dampak jangka panjang bagi individu dan masyarakat Muslim secara luas.
Penulis adalah Dosen Institut Agama Islam Tafaqquh Fiddin Dumai
Daftar Pustaka
- Al-Ghazali. (2011). Ihya’ Ulumuddin. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
- Al-Farabi. (2002). The Philosophy of Al-Farabi. New York: Oxford University Press.
- Al-Jailani, A. Q. (2000). Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
- Al-Qur'an Al-Karim.
- Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. (2008). Madarij As-Salikin. Riyadh: Dar Ibn al-Jauzi.
- Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2001). "On Happiness and Human Potentials: A Review of Research on Hedonic and Eudaimonic Well-being." Annual Review of Psychology, 52(1), 141-166.
- Trepanowski, J. F., & Bloomer, R. J. (2010). "The Impact of Religious Fasting on Human Health." Nutrition Journal, 9(57), 1-9.