![]() |
Oleh : Dr. H. M Rizal Akbar, M.Phil |
Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan keberkahan, tidak hanya dalam aspek ibadah, tetapi juga dalam aspek psikologis manusia. Puasa yang dijalankan selama bulan Ramadhan memiliki dampak yang sangat besar dalam meningkatkan ketahanan mental dan kebahagiaan psikologis. Ketahanan mental yang diperoleh dari ibadah puasa berakar pada kesabaran, keikhlasan, dan kemampuan mengendalikan diri dalam menghadapi berbagai ujian. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 183). Ayat ini menunjukkan bahwa puasa bukan sekadar kewajiban, tetapi juga sarana untuk mencapai ketakwaan, yang dalam perspektif psikologi positif, berkaitan erat dengan kebahagiaan batin dan ketahanan diri.
Puasa
mengajarkan individu untuk mengendalikan hawa nafsu, menahan lapar dan dahaga,
serta menjaga emosi. Pengendalian diri ini berperan dalam meningkatkan
ketahanan mental seseorang dalam menghadapi berbagai tekanan hidup. Menurut
Imam Al-Ghazali, puasa bukan hanya menahan diri dari makan dan minum, tetapi
juga menahan diri dari segala perbuatan yang dapat merusak hati dan jiwa. Dalam
kitabnya Ihya’ Ulumuddin, beliau menekankan bahwa puasa yang sempurna
akan membentuk manusia yang lebih tenang dan penuh kesabaran. Dalam sudut
pandang psikologi, kesabaran ini berkontribusi terhadap peningkatan daya tahan
mental seseorang dalam menghadapi stres dan tantangan hidup.
Selain
meningkatkan ketahanan mental, puasa juga dapat meningkatkan kebahagiaan
psikologis. Dalam sebuah penelitian psikologi, ditemukan bahwa praktik ibadah
seperti puasa dapat meningkatkan kadar hormon dopamin dan serotonin, yang
berperan dalam menciptakan perasaan bahagia dan kepuasan batin. Hal ini selaras
dengan sabda Rasulullah SAW: "Bagi orang yang berpuasa ada dua
kebahagiaan, yaitu kebahagiaan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika bertemu
dengan Tuhannya." (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menunjukkan
bahwa kebahagiaan tidak hanya bersifat duniawi, tetapi juga memiliki dimensi
spiritual yang mendalam.
Mindfulness
dalam ibadah Ramadhan juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
keseimbangan emosional seseorang. Mindfulness adalah kondisi kesadaran penuh
terhadap momen yang sedang dialami tanpa terganggu oleh pikiran negatif. Dalam
Islam, mindfulness dapat diwujudkan dalam bentuk kekhusyukan saat menjalankan
ibadah seperti shalat, dzikir, dan membaca Al-Qur'an. Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya
di dalam tubuh terdapat segumpal daging, jika ia baik, maka baiklah seluruh
tubuh, jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa segumpal
daging itu adalah hati." (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini
menekankan pentingnya menjaga kebersihan hati, yang salah satunya dapat diperoleh
melalui mindfulness dalam beribadah.
Ketika
seseorang menjalankan ibadah dengan penuh kesadaran dan keikhlasan, maka akan
muncul ketenangan batin yang berujung pada keseimbangan emosional. Di bulan
Ramadhan, umat Muslim lebih banyak meluangkan waktu untuk beribadah dan
merenung, sehingga dapat mengurangi tekanan dan kecemasan yang sering muncul
dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pandangan Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah,
ibadah yang dilakukan dengan hati yang tenang akan membawa ketentraman jiwa, mengurangi
kegelisahan, dan memperkuat hubungan spiritual dengan Allah SWT.
Ramadhan
juga mengajarkan perubahan pola pikir yang lebih positif dan peningkatan rasa
syukur. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering kali terjebak dalam rasa
kurang puas dan keluhan terhadap keadaan yang dihadapi. Namun, saat menjalani
puasa, seseorang diajarkan untuk bersyukur atas nikmat yang telah diberikan
oleh Allah SWT, sekecil apa pun itu. Allah SWT berfirman: "Dan jika
kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu." (QS.
Ibrahim: 7). Ayat ini mengajarkan bahwa kebiasaan bersyukur tidak hanya
mendatangkan kebahagiaan, tetapi juga mendatangkan keberlimpahan dalam hidup.
Dalam
kajian psikologi, rasa syukur terbukti dapat meningkatkan kesejahteraan
emosional dan mengurangi tingkat stres. Orang yang sering bersyukur cenderung
lebih bahagia dan memiliki kehidupan yang lebih seimbang. Rasulullah SAW juga
menegaskan pentingnya sikap bersyukur dalam sabdanya: "Lihatlah orang
yang berada di bawah kalian (dalam urusan dunia) dan jangan melihat orang yang
berada di atas kalian, karena itu lebih pantas agar kalian tidak meremehkan
nikmat Allah." (HR. Muslim). Hadis ini mengajarkan umat Muslim untuk
senantiasa merasa cukup dengan apa yang dimiliki, sehingga terhindar dari perasaan
iri dan tidak puas.
Puasa
juga mendorong seseorang untuk lebih banyak berbuat baik kepada sesama, yang
pada gilirannya meningkatkan kebahagiaan psikologis. Ketika seseorang membantu
orang lain, baik dalam bentuk sedekah, berbagi makanan, atau memberikan bantuan
moral, otak akan melepaskan hormon oksitosin yang meningkatkan perasaan bahagia
dan kepuasan batin. Konsep ini selaras dengan ajaran Islam yang mendorong
umatnya untuk saling berbagi, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Sebaik-baik
manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya." (HR.
Ahmad).
Di akhir
Ramadhan, umat Muslim merasakan kebahagiaan yang luar biasa ketika mereka
berhasil menyelesaikan ibadah puasa dengan penuh keimanan dan keikhlasan. Rasa
kemenangan yang dirasakan pada Idul Fitri bukan hanya karena telah berhasil
menahan lapar dan haus, tetapi juga karena telah berhasil melalui proses
spiritual yang mendalam yang menguatkan ketahanan mental dan kebahagiaan
psikologis. Ibn Rajab al-Hanbali dalam kitabnya Latha’if al-Ma’arif menjelaskan
bahwa Ramadhan adalah bulan pendidikan jiwa, di mana setiap Muslim diajarkan
untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki melalui ibadah dan peningkatan kualitas
diri.
Dengan
demikian, Ramadhan bukan hanya sekadar ritual tahunan, tetapi juga merupakan
sarana untuk meningkatkan ketahanan mental, keseimbangan emosional, serta rasa
syukur yang mendalam. Dalam perspektif psikologi positif, puasa bukan hanya
tentang menahan lapar dan dahaga, tetapi juga membentuk pola pikir yang lebih
baik, meningkatkan rasa empati, dan menanamkan kebiasaan baik yang
berkelanjutan. Oleh karena itu, Ramadhan sejatinya adalah bulan yang membawa
kebahagiaan sejati bagi mereka yang mampu memaknainya dengan penuh kesadaran
dan keikhlasan.
Penulis adalah Dosen IAITF Dumai